menulis sebagai terapi

Sabtu, 22 Desember 2018

Mencipta Jejak

menyusuri jalan panjang di kotamu/

langkah demi langkah//
mencipta jejakku sendiri sebelum pulang/
untuk memandumu/
menujuku/
suatu waktu//


yogyakarta,
22 desember 2018
Read More

Sabtu, 17 November 2018

Karya Sastra sebagai Dokumentasi Kearifan Budaya Lokal


Karya sastra bisa saja dipandang sebagai pantulan budaya apabila karya sastra tersebut mengandung muatan-muatan kebudayaan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sebagaimana budaya merupakan kebiasaan sehari-hari yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat secara turun-temurun dan terbentuk dari berbagai unsur yang saling terkait satu sama lain seperti pengetahuan, adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, gaya hidup, maupun tata aturan tertentu.


Novel Genduk menjadi satu dari sekian karya sastra fiksi yang berhasil mengantarkan nilai-nilai kearifan budaya lokal kepada pembaca. Dengan kata lain, karya sastra fiksi yang memuat tema kearifan budaya lokal suatu kelompok masyarakat akan mengenalkan pengetahuan tentang kearifan budaya lokal tersebut kepada kelompok masyarakat lain. Dalam hal ini, pengarang yang telah membawa misi etnis dalam lembar demi lembar karyanya memiliki sumbangsih pada upaya menjaga kelestarian budaya lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia.

Karya sastra fiksi berupa novel berjudul Genduk inilah bentuk dokumentasi kearifan budaya lokal masyarakat Jawa, dikemas oleh Sundari Mardjuki dengan bahasa dan jalan cerita yang asik. Novel bergenre drama dengan setting tahun 1970-an ini dimulai dari kemunculan tokoh gadis berumur sebelas tahun yakni Anisa Nooraini. Gadis yang kerap disapa Genduk tinggal bersama ibunya bernama Sutrisni di desa Ringinsari, desa yang berada di puncak gunung Sindoro Temanggung. Diceritakan dalam novel bahwa tempat tinggal Genduk merupakan desa penghasil tembakau yang baik, secara garis besar konflik yang disuguhkan pengarang pun tak lepas dari kehidupan petani tembakau. Tak mudah bagi Sutrisni yang bekerja sebagai petani tembakau dalam membesarkan Genduk seorang diri. Apalagi perekonomian mereka surut karena ulah gaok tembakau bernama Kaduk. Bahkan tak hanya keluarga Sutrisni yang dirugikan tengkulak Kaduk itu, hampir semua petani tembakau di desa Ringinsari telah dirugikan. Munculnya konflik lain tentang keingintahuan Genduk mencari siapa dan di mana keberadaan ayahnya yang tak pernah ia lihat sejak lahir juga berhasil membuat perasaan pembaca campur-aduk. Tak ternyana, kedua konflik yang bertentangan itu pun pada akhirnya berujung pada kebahagiaan Genduk, Sutrisni, serta para petani tembakau desa Ringinsari. Sungguh, pengarang begitu lihai memainkan alur hingga saya secara pribadi tak sanggup untuk menebak seperti apa cerita ini bermuara.

Sundari Mardjuki mendokumentasikan kearifan budaya lokal masyarakat Jawa melalui novel Genduk. Berikut beberapa kutipan yang mengandung nilai-nilai kearifan budaya lokal masyarakat Jawa:
“Aku berjalan di tengah tegalan yang luas. Sunyi. Tegalan semakin menanjak. Aku seperti berada di persimpangan antara tegalan petani dan hutan Gunung Sindoro. Langkah kakiku terhenti oleh sebuah suara. Tidak jelas. Seperti bisikan. Seperti suara laki-laki. Aku bergerak untuk melangkah lagi. Suara itu terdengar lagi. Eling lan waspada. Itu suara yang kutangkap. Menggema di tengah sepinya ladang dan semak belukar. Eling lan waspada?” (Mardjuki, 2016:73)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Genduk berpedoman pada ungkapan pepatah Jawa “eling lan waspada” yang berarti memiliki keyakinan untuk senantiasa mengingat Tuhan dan bersikap waspada dalam segala hal akan membawa pada jalan keselamatan dan kebaikan. Selain ungkapan pepatah yang dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, masyarakat Jawa juga berpedoman pada lagu-lagu Jawa. Lagu-lagu Jawa tersebut merupakan warisan budaya leluhur yang mengandung nilai-nilai religi tentang betapa pentingnya mengingat tujuan hidup. Dengan menyanyikan dan memahami maksud dari lagu-lagu Jawa seseorang akan mengingat tujuan ia diciptakan dan diturunkan di bumi:
“Kaji Bawon pun menembangkan Dhandhanggula. Kawruhana sejatining urip. Urip ana jroning alam donya. Bebasane mampir ngombe. Umpama manuk mabur. Lunga saka kurungan neki. Pundi pencokan benjang. Ojo kongsi kaleru. Umpama lunga sesanja. Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih. Mulih mula mulanya.” (Mardjuki, 2016:149)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Kaji Bawon memberikan pemahaman kepada Genduk tentang sejatinya manusia diciptakan ke bumi dengan menembangkan dhandhanggula yang dapat diartikan bahwa dalam kehidupan di dunia ini ibarat hanya mampir untuk mencari minum. Seperti burung yang terbang pergi dari sarang kita harus berhati-hati agar tidak sampai kesasar. Seperti orang yang bepergian, bertamu kemanapun akhirnya juga akan pulang kembali ke asal muasalnya. Melalui tembang tersebut dapat diketahui bahwa manusia diciptakan Tuhan ke bumi untuk menjalankan kewajiban beribadah kepada-Nya. Manusia harus mengetahui tujuan dan menjalankan tugas itu. Karena akan seperti apapun kehidupan manusia, jika tiba waktunya, manusia tersebut pasti kembali kepada Tuhan.

Selain kaya dengan dokumentasi budaya, novel Genduk memiliki ciri khas dari sisi bahasa yakni cerita yang disampaikan menggunakan bahasa yang mengesankan. Memang terdapat banyak kosa kata bahasa Jawa dalam novel, tetapi Sundari Mardjuki tak lupa menyematkan glosarium. Novel yang menarik. 


Judul : Genduk 
Pengarang       : Sundari Mardjuki
Penerbit : Gramedia 
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit    : 2016
Kode ISBN     : 978-602-03-3219-2
Jumlah Halaman  : 232
Read More

Minggu, 14 Oktober 2018

Surat untuk Calon Imamku

 

Yth.
Calon Imamku
di-

   Bumi.

Mas, apa kabar?
Dalam kesemogaan kuharap kau senantiasa baik.

Pagi ini aku duduk santai menatap layar komputer dengan memakai kacamata anti radiasi. Aku belum mandi, rambutku terurai, dan aku memakai kaos berwarna abu-abu. Sepuluh jemariku sedang berdansa di atas keyboard. Selain mouse, ada setoples keripik gethuk dan susu kesukaanku dalam cangkir warna hitam di atas meja. Aku merasa hangat meski di luar hujan turun lebat. Guntur bergemuruh sesekali, menambah syahdu suasana hati.

Sebenarnya aku tidak bisa memastikan kelak kau akan membaca surat ini atau tidak. Menemukan atau tidak. Tetapi yang kuyakini jika kau mengganggapku sebagai seseorang yang penting dalam hidupmu, kau pasti akan mencari segala sesuatu tentangku dari berbagai penjuru. Mungkin juga kau akan mengetik namaku di internet lalu mesin telusur mengarahkanmu ke sini.

Begini. Surat ini kutujukan untuk Calon Imamku, yang mana berarti tertuju untuk seseorang yang akan menjadi, bukan untuk seseorang yang sudah menjadi. Mungkin saat ini kau sedang tertarik, suka, atau malah sudah cinta padaku. Oleh sebab itu biarkan aku memberitahumu sesuatu. Sampai di sini, aku tidak bermaksud untuk membuatmu meragukanku, tetapi aku bermaksud untuk memberimu ruang.

Surat ini pendek, mungil, mini sepertiku. Kuharap kau membacanya dengan hati dan teliti. 

Aku perempuan yang keras kepala, bukan keras hati. Kuharap kau bisa membedakan. Keras kepalaku lantaran prinsip-prinsip yang kuyakini. Tidak terlepas dari didikan keluarga, lingkungan, serta pengetahuan dan pengalaman yang membentuk diriku. Aku seorang perempuan pembelajar. Gemar belajar. Belajar apapun itu, termasuk belajar tentang diri sendiri.

Berkat kasih sayang Tuhan, aku diizinkan menjadi perempuan yang cukup menghargai proses. Bagiku salah itu manusiawi, tetapi jika aku melakukan kesalahan, aku harus belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Bagiku bodoh itu manusiawi, tetapi jika aku tidak menguasai suatu hal, aku akan belajar untuk mempelajari suatu hal itu semampu diri. 

Mungkin yang tak mengenalku mengira perempuan selfish. Faktanya aku hanya self-love. Kuharap kau juga bisa membedakan. Dalam beberapa hal, aku harus mengetahui detail sudut pandangmu sebelum menyatakan setuju lalu mengikuti. Keterbukaan adalah kunci menjalin hubungan denganku, jangan setengah-setengah. Jika kau mengajukan sesuatu dan aku meminta penjelasan yang mendasari itu, jangan dulu tersinggung atau merasa bahwa aku menentang. Semoga kau laki-laki yang bijaksana. Pun jika kelak aku berbuat salah, aku mampu menyatakan salah dan meminta maaf padamu. Selebihnya, kau bisa membaca kembali paragraf sebelum ini. 

Karena pernikahan merupakan penyatuan dua manusia dalam perjalanan ibadah yang terpanjang, mustahil kita hanya bertahan dengan perasaan dan pemikiran sendiri. Maka sebelum memutuskan menikah denganku, renungkan. Apakah sekiranya kau sanggup menjalani hidup bersama perempuan yang akan memberikan pendapatnya tentang dirimu juga perempuan yang akan meminta pendapatmu tentang dirinya? Apakah kau bersedia jika kelak perempuan ini akan mengajakmu mengevaluasi diri bersama-sama? Apakah kau laki-laki yang tidak keberatan menerima perempuan yang akan mengajakmu untuk belajar membaik bersama? Dengan riang lapang kukatakan, tentu kau pun bisa mengajakku demikian. 

Betapa menyenangkan pernikahan, membangun rumah tangga atas dasar kesinambungan cinta dan pengetahuan. Segala bentuk penerimaan dan kesadaran untuk terus belajar menjadi manusia yang lebih baik menjelma pondasi kokoh. Lalu anak-anak lahir serta tumbuh dengan cinta kasih. Dari mata mereka yang jernih, akan melihat bagaimana Mama Papa tak pernah alpa membangun diri dan teladan. Tentu harus kusiapkan sekarang, juga kau. 

Semoga aku segera menggamit lengan kirimu dengan damai.

Dariku,
Yang kau cari.
Read More

Jumat, 17 Agustus 2018

bertamasya dalam catatan 8

 

keanekaragaman itu indah. seperti laut. pada bibir pantainya yang elok akan kau dapati perahu-perahu berjajar, ombak berdebur, angin berdesir, nyiur-nyiur melambai, bentangan langit biru dan arakan awan putih, serta kersik pasir yang sebagian basah dan kering. Indonesia juga begitu.

 

daerah perbatasan,

17/8/2018

 

Read More