menyusuri jalan panjang di kotamu/
langkah demi langkah//mencipta jejakku sendiri sebelum pulang/
untuk memandumu/
menujuku/
suatu waktu//
yogyakarta,
22 desember 2018
menyusuri jalan panjang di kotamu/
langkah demi langkah//Karya sastra bisa saja dipandang sebagai pantulan budaya apabila karya sastra tersebut mengandung muatan-muatan kebudayaan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sebagaimana budaya merupakan kebiasaan sehari-hari yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat secara turun-temurun dan terbentuk dari berbagai unsur yang saling terkait satu sama lain seperti pengetahuan, adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, gaya hidup, maupun tata aturan tertentu.
“Aku berjalan di tengah tegalan yang luas. Sunyi. Tegalan semakin menanjak. Aku seperti berada di persimpangan antara tegalan petani dan hutan Gunung Sindoro. Langkah kakiku terhenti oleh sebuah suara. Tidak jelas. Seperti bisikan. Seperti suara laki-laki. Aku bergerak untuk melangkah lagi. Suara itu terdengar lagi. Eling lan waspada. Itu suara yang kutangkap. Menggema di tengah sepinya ladang dan semak belukar. Eling lan waspada?” (Mardjuki, 2016:73)Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Genduk berpedoman pada ungkapan pepatah Jawa “eling lan waspada” yang berarti memiliki keyakinan untuk senantiasa mengingat Tuhan dan bersikap waspada dalam segala hal akan membawa pada jalan keselamatan dan kebaikan. Selain ungkapan pepatah yang dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, masyarakat Jawa juga berpedoman pada lagu-lagu Jawa. Lagu-lagu Jawa tersebut merupakan warisan budaya leluhur yang mengandung nilai-nilai religi tentang betapa pentingnya mengingat tujuan hidup. Dengan menyanyikan dan memahami maksud dari lagu-lagu Jawa seseorang akan mengingat tujuan ia diciptakan dan diturunkan di bumi:
“Kaji Bawon pun menembangkan Dhandhanggula. Kawruhana sejatining urip. Urip ana jroning alam donya. Bebasane mampir ngombe. Umpama manuk mabur. Lunga saka kurungan neki. Pundi pencokan benjang. Ojo kongsi kaleru. Umpama lunga sesanja. Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih. Mulih mula mulanya.” (Mardjuki, 2016:149)Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Kaji Bawon memberikan pemahaman kepada Genduk tentang sejatinya manusia diciptakan ke bumi dengan menembangkan dhandhanggula yang dapat diartikan bahwa dalam kehidupan di dunia ini ibarat hanya mampir untuk mencari minum. Seperti burung yang terbang pergi dari sarang kita harus berhati-hati agar tidak sampai kesasar. Seperti orang yang bepergian, bertamu kemanapun akhirnya juga akan pulang kembali ke asal muasalnya. Melalui tembang tersebut dapat diketahui bahwa manusia diciptakan Tuhan ke bumi untuk menjalankan kewajiban beribadah kepada-Nya. Manusia harus mengetahui tujuan dan menjalankan tugas itu. Karena akan seperti apapun kehidupan manusia, jika tiba waktunya, manusia tersebut pasti kembali kepada Tuhan.
Yth.
Calon Imamku
di-
keanekaragaman itu indah. seperti laut. pada
bibir pantainya yang elok akan kau dapati perahu-perahu berjajar, ombak
berdebur, angin berdesir, nyiur-nyiur melambai, bentangan langit biru dan
arakan awan putih, serta kersik pasir yang sebagian basah dan kering. Indonesia
juga begitu.
daerah perbatasan,
17/8/2018