Karya sastra bisa saja dipandang sebagai pantulan budaya apabila karya sastra tersebut mengandung muatan-muatan kebudayaan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sebagaimana budaya merupakan kebiasaan sehari-hari yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat secara turun-temurun dan terbentuk dari berbagai unsur yang saling terkait satu sama lain seperti pengetahuan, adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, gaya hidup, maupun tata aturan tertentu.
Novel Genduk menjadi satu dari sekian karya sastra fiksi yang berhasil mengantarkan nilai-nilai kearifan budaya lokal kepada pembaca. Dengan kata lain, karya sastra fiksi yang memuat tema kearifan budaya lokal suatu kelompok masyarakat akan mengenalkan pengetahuan tentang kearifan budaya lokal tersebut kepada kelompok masyarakat lain. Dalam hal ini, pengarang yang telah membawa misi etnis dalam lembar demi lembar karyanya memiliki sumbangsih pada upaya menjaga kelestarian budaya lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia.
Karya sastra fiksi berupa novel berjudul Genduk inilah bentuk dokumentasi kearifan budaya lokal masyarakat Jawa, dikemas oleh Sundari Mardjuki dengan bahasa dan jalan cerita yang asik. Novel bergenre drama dengan setting tahun 1970-an ini dimulai dari kemunculan tokoh gadis berumur sebelas tahun yakni Anisa Nooraini. Gadis yang kerap disapa Genduk tinggal bersama ibunya bernama Sutrisni di desa Ringinsari, desa yang berada di puncak gunung Sindoro Temanggung. Diceritakan dalam novel bahwa tempat tinggal Genduk merupakan desa penghasil tembakau yang baik, secara garis besar konflik yang disuguhkan pengarang pun tak lepas dari kehidupan petani tembakau. Tak mudah bagi Sutrisni yang bekerja sebagai petani tembakau dalam membesarkan Genduk seorang diri. Apalagi perekonomian mereka surut karena ulah gaok tembakau bernama Kaduk. Bahkan tak hanya keluarga Sutrisni yang dirugikan tengkulak Kaduk itu, hampir semua petani tembakau di desa Ringinsari telah dirugikan. Munculnya konflik lain tentang keingintahuan Genduk mencari siapa dan di mana keberadaan ayahnya yang tak pernah ia lihat sejak lahir juga berhasil membuat perasaan pembaca campur-aduk. Tak ternyana, kedua konflik yang bertentangan itu pun pada akhirnya berujung pada kebahagiaan Genduk, Sutrisni, serta para petani tembakau desa Ringinsari. Sungguh, pengarang begitu lihai memainkan alur hingga saya secara pribadi tak sanggup untuk menebak seperti apa cerita ini bermuara.
Sundari Mardjuki mendokumentasikan kearifan budaya lokal masyarakat Jawa melalui novel Genduk. Berikut beberapa kutipan yang mengandung nilai-nilai kearifan budaya lokal masyarakat Jawa:
“Aku berjalan di tengah tegalan yang luas. Sunyi. Tegalan semakin menanjak. Aku seperti berada di persimpangan antara tegalan petani dan hutan Gunung Sindoro. Langkah kakiku terhenti oleh sebuah suara. Tidak jelas. Seperti bisikan. Seperti suara laki-laki. Aku bergerak untuk melangkah lagi. Suara itu terdengar lagi. Eling lan waspada. Itu suara yang kutangkap. Menggema di tengah sepinya ladang dan semak belukar. Eling lan waspada?” (Mardjuki, 2016:73)Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Genduk berpedoman pada ungkapan pepatah Jawa “eling lan waspada” yang berarti memiliki keyakinan untuk senantiasa mengingat Tuhan dan bersikap waspada dalam segala hal akan membawa pada jalan keselamatan dan kebaikan. Selain ungkapan pepatah yang dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, masyarakat Jawa juga berpedoman pada lagu-lagu Jawa. Lagu-lagu Jawa tersebut merupakan warisan budaya leluhur yang mengandung nilai-nilai religi tentang betapa pentingnya mengingat tujuan hidup. Dengan menyanyikan dan memahami maksud dari lagu-lagu Jawa seseorang akan mengingat tujuan ia diciptakan dan diturunkan di bumi:
“Kaji Bawon pun menembangkan Dhandhanggula. Kawruhana sejatining urip. Urip ana jroning alam donya. Bebasane mampir ngombe. Umpama manuk mabur. Lunga saka kurungan neki. Pundi pencokan benjang. Ojo kongsi kaleru. Umpama lunga sesanja. Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih. Mulih mula mulanya.” (Mardjuki, 2016:149)Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Kaji Bawon memberikan pemahaman kepada Genduk tentang sejatinya manusia diciptakan ke bumi dengan menembangkan dhandhanggula yang dapat diartikan bahwa dalam kehidupan di dunia ini ibarat hanya mampir untuk mencari minum. Seperti burung yang terbang pergi dari sarang kita harus berhati-hati agar tidak sampai kesasar. Seperti orang yang bepergian, bertamu kemanapun akhirnya juga akan pulang kembali ke asal muasalnya. Melalui tembang tersebut dapat diketahui bahwa manusia diciptakan Tuhan ke bumi untuk menjalankan kewajiban beribadah kepada-Nya. Manusia harus mengetahui tujuan dan menjalankan tugas itu. Karena akan seperti apapun kehidupan manusia, jika tiba waktunya, manusia tersebut pasti kembali kepada Tuhan.
Selain kaya dengan dokumentasi budaya, novel Genduk memiliki ciri khas dari sisi bahasa yakni cerita yang disampaikan menggunakan bahasa yang mengesankan. Memang terdapat banyak kosa kata bahasa Jawa dalam novel, tetapi Sundari Mardjuki tak lupa menyematkan glosarium. Novel yang menarik.
Judul : Genduk
Pengarang : Sundari Mardjuki
Penerbit : Gramedia
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2016
Kode ISBN : 978-602-03-3219-2
Jumlah Halaman : 232
0 comments:
Posting Komentar