Yth.
Calon Imamku
di-
Bumi.
Mas, apa kabar?
Dalam kesemogaan kuharap kau senantiasa baik.
Sebenarnya aku tidak bisa memastikan kelak kau akan membaca surat ini atau tidak. Menemukan atau tidak. Tetapi yang kuyakini jika kau mengganggapku sebagai seseorang yang penting dalam hidupmu, kau pasti akan mencari segala sesuatu tentangku dari berbagai penjuru. Mungkin juga kau akan mengetik namaku di internet lalu mesin telusur mengarahkanmu ke sini.
Begini. Surat ini kutujukan untuk Calon Imamku, yang mana berarti tertuju untuk seseorang yang akan menjadi, bukan untuk seseorang yang sudah menjadi. Mungkin saat ini kau sedang tertarik, suka, atau malah sudah cinta padaku. Oleh sebab itu biarkan aku memberitahumu sesuatu. Sampai di sini, aku tidak bermaksud untuk membuatmu meragukanku, tetapi aku bermaksud untuk memberimu ruang.
Surat ini pendek, mungil, mini sepertiku. Kuharap kau membacanya dengan hati dan teliti.
Aku perempuan yang keras kepala, bukan keras hati. Kuharap kau bisa membedakan. Keras kepalaku lantaran prinsip-prinsip yang kuyakini. Tidak terlepas dari didikan keluarga, lingkungan, serta pengetahuan dan pengalaman yang membentuk diriku. Aku seorang perempuan pembelajar. Gemar belajar. Belajar apapun itu, termasuk belajar tentang diri sendiri.
Berkat kasih sayang Tuhan, aku diizinkan menjadi perempuan yang cukup menghargai proses. Bagiku salah itu manusiawi, tetapi jika aku melakukan kesalahan, aku harus belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Bagiku bodoh itu manusiawi, tetapi jika aku tidak menguasai suatu hal, aku akan belajar untuk mempelajari suatu hal itu semampu diri.
Mungkin yang tak mengenalku mengira perempuan selfish. Faktanya aku hanya self-love. Kuharap kau juga bisa membedakan. Dalam beberapa hal, aku harus mengetahui detail sudut pandangmu sebelum menyatakan setuju lalu mengikuti. Keterbukaan adalah kunci menjalin hubungan denganku, jangan setengah-setengah. Jika kau mengajukan sesuatu dan aku meminta penjelasan yang mendasari itu, jangan dulu tersinggung atau merasa bahwa aku menentang. Semoga kau laki-laki yang bijaksana. Pun jika kelak aku berbuat salah, aku mampu menyatakan salah dan meminta maaf padamu. Selebihnya, kau bisa membaca kembali paragraf sebelum ini.
Karena pernikahan merupakan penyatuan dua manusia dalam perjalanan ibadah yang terpanjang, mustahil kita hanya bertahan dengan perasaan dan pemikiran sendiri. Maka sebelum memutuskan menikah denganku, renungkan. Apakah sekiranya kau sanggup menjalani hidup bersama perempuan yang akan memberikan pendapatnya tentang dirimu juga perempuan yang akan meminta pendapatmu tentang dirinya? Apakah kau bersedia jika kelak perempuan ini akan mengajakmu mengevaluasi diri bersama-sama? Apakah kau laki-laki yang tidak keberatan menerima perempuan yang akan mengajakmu untuk belajar membaik bersama? Dengan riang lapang kukatakan, tentu kau pun bisa mengajakku demikian.
Betapa menyenangkan pernikahan, membangun rumah tangga atas dasar kesinambungan cinta dan pengetahuan. Segala bentuk penerimaan dan kesadaran untuk terus belajar menjadi manusia yang lebih baik menjelma pondasi kokoh. Lalu anak-anak lahir serta tumbuh dengan cinta kasih. Dari mata mereka yang jernih, akan melihat bagaimana Mama Papa tak pernah alpa membangun diri dan teladan. Tentu harus kusiapkan sekarang, juga kau.
Semoga aku segera menggamit lengan kirimu dengan damai.
Dariku,
Yang kau cari.
0 comments:
Posting Komentar